John Kei dan Fenomena Gangster Jakarta
Ada berita yang menghebohkan jagat preman ibukota Jakarta
pada Jumat (17/2/2012) lalu. Seorang gembong preman bernana John Refra Kei
ditangkap oleh aparat gabungan Subdit Umum dan Subdit Resmob Polda Metro Jaya
di Hotel C'One, Pulomas, Jakarta Timur sekitar pukul 20.00 WIB.
Ia digelandang dengan luka tembak di kaki oleh sejumlah polisi. Tak
tanggung-tanggung, sekitar seratus polisi dikerahkan untuk membekuk sang
preman. Menurut beberapa saksi mata, John Kei sempat melawan sebelumpuhkan
dengan timah panas.
Menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Rikwanto, dalam jumpa pers
di Mapolda Metro Jaya, Sabtu (18/2/2012), penangkapan John Kei dilakukan
terkait kasus pembunuhan bos PT Sanex Steel, Ayung alias Tan Hari Tantono.
Dalam penangkapan itu disita barang bukti 1 handphone merk Vertu warna silver,
1 Samsung notebook warna hitam dan dompet berwarna hitam cokelat dan uang Rp
5.250.000.
John Kei adalah seorang gembong merupakan preman yang paling disegani di
Jakarta. Dia dikenal sebagai bos para penagih utang dan pembunuh bayaran yang
sangat sadis. Menurut Wakil Ketua Komisi III DPR, Nasir Jamil, dengan
tertangkapnya John Kei, diharapkan premanisme bisa disapu bersih di Jakarta dan
seluruh kota di Indonesia. "Polisi bertanggung jawab membersihkan preman
yang meresahkan masyarakat. Jangan ada lagi premanisme di Jakarta dan seluruh
kota di Indonesia," ujarnya.
Nasir menyitir presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika memerintahkan
Kapolri untuk menindak setiap kejahatan. "Negara tidak boleh kalah dengan
kejahatan. Kapolri harus punya strategi jitu untuk menyingkirkan premanisme di
Indonesia," ungkap Nasir.
Siapakah John Kei? Pria berumur 40 tahun itu adalah seerang tokoh asal
Maluku yang lekat dengan dunia kekerasan di Ibukota. Sebelum 'manggung' di
jakarta, John Kei didapuk menjadi pimpinan dari sebuah himpunan para pemuda
Ambon asal Pulau Kei di Maluku Tenggara.
Mereka berhimpun pasca-kerusuhan di Tual, Pulau Kei pada Mei 2000 lalu. Nama
resmi himpunan pemuda itu Angkatan Muda Kei (AMKei) dengan John Kei sebagai
pimpinan. Ia bahkan mengklaim bahwa anggota AMKei mencapai 12 ribu orang.
Nama John Kei berkibar di Jakarta setelah tokoh pemuda yang juga asal Maluku
Utara, Basri Sangaji, meninggal dalam suatu pembunuhan sadis di hotel Kebayoran
Inn di Jakarta Selatan pada 12 Oktober 2004 silam. Sebelumnya, kedua tokoh
pemuda itu seakan saling bersaing demi mendapatkan nama besar di dunia gangster
Jakarta.
Dengan kematian Basri, nama John Kei pun melesat bak meteor. Ia bersama
kelompoknya terus menjadi momok menakutkan bagi warga di Jakarta. Pada Juni
2007, misalnya, John Kei terlibat bentrokan yang terjadi di depan kantor DPD
PDI Perjuangan Jalan Tebet Raya No.46 Jaksel.
Kabarnya, bentrokan itu terkait penagihan utang yang dilakukan kelompok John
Kei terhadap salah seorang kader PDI Perjuangan di kantor itu. Bukan itu saja,
di tahun yang sama kelompok ini juga pernah mengamuk di depan Diskotik Hailai
Jakut hingga memecahkan kaca-kaca di sana tanpa sebab yang jelas.
Dalam ’dunia premanisme’ Ibukota, khususnya terkait bisnis debt collector,
kerap terjadi baku serang antar gangster. Sebagai contoh, pernah terjadi
bentrokan berdarah di kawasan Jalan Kemang IV Jaksel pada pertengahan Mei 2002
silam, dimana kelompok Basri Sangaji saat itu sedang menagih seorang pengusaha
di kawasan Kemang.
Mendadak sang pengusaha menghubungi Hercules yang biasa ’dipakainya’ untuk
menagih utang pula. Akibatnya kedua kelompok itu berhadap
John Kei saat ditangkap polisian di Jalan Kemang IV itu
sehingga terjadi bentrokan dan pembunuhan.
Hercules sempat ditembak beberapa kali, tapi dia hanya luka-luka saja dan
bibirnya terluka karena terserempet peluru. Dia menjalani perawatan cukup lama
di sebuah rumah sakit di kawasan Kebon Jeruk, Jakbar. Beberapa anak buah
Hercules juga terluka. Tapi, seorang anak buah Sangaji terbunuh, dan beberapa
orang terluka.
Selain jasa penagihan utang, para gangster ibukota itu juga bergerak di
bidang jasa pengawalan lahan dan tempat. Kelompok John Kei , misalnya, pernah
mendapat ’order’ untuk menjaga lahan kosong di kawasan perumahan Permata Buana,
Kembangan Jakarta Barat.
Namun dalam menjalankan tugas, kelompok ini pernah mendapat serbuan dari
kelompok Pendekar Banten yang merupakan bagian dari Persatuan Pendekar
Persilatan Seni Budaya Banten Indonesia (PPPSBBI). Markas dan wilayah kerja
PPPSBBI sebetulnya di Serang dan areal Provinsi Banten. Kepergian ratusan
pendekar Banten itu ke Jakarta itu sengaja untuk menyerbu kelompok John Kei
pada 29 Mei 2005.
Sayangnya, kelompok penyerbu itu belum mengenal seluk-beluk Ibukota.
Akibatnya, seorang anggota Pendekar Banten bernama Jauhari tewas terbunuh dalam
bentrokan itu. Selain itu sembilan anggota Pendekar Banten terluka dan 13 mobil
dirusak. tiga SSK Brimob PMJ dibantu aparat Polres Jakarta Barat berhasil
mengusir kedua kelompok yang bertikai dari areal lahan seluas 5.500 meter
persegi di Perum Permata Buana Blok L/4, Kembangan Utara Jakbar.
Namun buntut dari kasus ini, John Kei hanya dimintai keterangan saja.
Sedangkan beberapa anak buah John yang harus menjalani proses hukum dan
mendekam di sel tahanan Polda Metro Jaya hingga kasusnya dilimpahkan ke kantor
Kejati DKI beberapa bulan berikutnya.
Sebuah sumber dari kalangan ini mengatakan bahwa kelompok penjaga lahan
seperti kelompok John Kei biasanya menempatkan anggotanya di lahan yang
dipersengketakan. Besarnya honor disesuaikan dengan luasnya lahan, siapa
pemiliknya, dan siapa lawan yang akan dihadapinya. Semakin kuat lawan
itu, semakin besar pula biaya pengamanannya.
Kisaran nominal upahnya, bisa mencapai milyaran rupiah. Perjanjian honor
atau upah dibuat antara pemilik lahan atau pihak yang mengklaim lahan itu
milikya dengan pihak pengaman. Perjanjian itu bisa termasuk ongkos operasi
sehari-hari bisa juga di luarnya.
Misalnya untuk sebuah lahan sengketa diperlukan 50 orang penjaga maka untuk
logistik diperlukan Rp 100 ribu per orang per hari, maka harus disediakan Rp 5
juta/hari atau langsung Rp 150 juta untuk sebulan. Yang jelas upah untuk kepala
rombongan atau komandannya lebih besar dari anggota biasa. Dana operasi itu di
luar upah kesuksesan kerja atau succes fee yang biasanya dibayarkan ketika
sengketa dimenangkan pihak pengorder.
Selain pengamanan lahan sengketa, ada pula pengamanan asset yang diincar
pihak lain maupun menjaga lokasi hiburan malam dari ancaman pengunjung yang
membikin onar maupun ancaman pemerasan dengan dalih ’jasa pengamanan’ oleh
kelompok lain. Walau begitu tapi tetap saja mekanisme kerja dan pembayarannya
sama dengan pengamanan lahan sengketa.
Begitulah potret dunia ganster, yang selalu
mengganggu keamana ibukota negara. Tertangkapnya John Kei mestinya menjadi
momentum untuk memberantas premanisne di kota-kota besar. Kalau tidak sekarang,
kapan lagi?